Masyarakat umumnya sudah sadar akan bahaya polusi plastik yang mencemari daratan dan lautan serta menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan lingkungan. Namun, tahukah kamu bahwa plastik juga memperburuk krisis iklim, seperti banjir, kekeringan, cuaca ekstrem, dan lainnya?
Ya, selain mencemari lingkungan, produksi plastik dari hulu ke hilir juga menghasilkan emisi karbon yang sangat besar. Ini karena 99 persen bahan baku plastik berasal dari energi fosil!
Tidak percaya? Mari kita bedah perjalanan plastik dari awal.
Dalam proses produksi plastik, langkah pertama adalah ekstraksi bahan mentah, yang mayoritas berasal dari minyak mentah dan gas alam. Setelah itu, dilakukan proses pemurnian, di mana bahan baku dipanaskan dan dipisahkan zatnya. Langkah berikutnya adalah polimerisasi, sebelum akhirnya dilakukan proses compounding hingga menghasilkan pelet plastik.
Langkah-langkah ini membutuhkan energi besar, dan saat ini mayoritas energi tersebut berasal dari batu bara. Jika emisi yang dihasilkan oleh industri plastik di seluruh dunia dikumpulkan, jumlahnya sangat mengkhawatirkan!
Menurut data dari CIEL (Center for International Environmental Law), selama satu tahun, emisi dari industri plastik mencapai 850 juta ton karbon. Jika dibandingkan, ini setara dengan emisi dari 189 PLTU batu bara berkapasitas 500 MW.
Data dari OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menunjukkan bahwa plastik berkontribusi sekitar 3,4 persen dari total emisi karbon global. Lebih mengkhawatirkan lagi, AZWI (Aliansi Zero Waste Indonesia) memperkirakan bahwa dengan rencana ekspansi besar-besaran dalam produksi plastik dalam waktu dekat, kontribusi ini bisa meningkat menjadi 15 persen.
Ya, kondisi saat ini sudah kritis, tetapi sayangnya, di masa depan, jika kita tidak melakukan sesuatu, situasinya akan semakin parah.
Siapa lagi biang keladinya jika bukan industri bahan bakar fosil? Meski krisis iklim sudah di depan mata, mereka masih saja mementingkan keuntungan dibandingkan kepentingan masyarakat dan lingkungan.
Indonesia dan negara-negara kepulauan lainnya termasuk di antara yang akan paling menderita akibat krisis iklim. Padahal, kita bisa dibilang yang paling tidak bersalah dalam menyebabkan perubahan iklim ini.
Pihak yang paling bertanggung jawab atas kondisi iklim saat ini adalah perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil. Sepanjang sejarah, mereka terus meraup keuntungan fantastis sementara kita semua menanggung dampaknya.
Kampanye Climate Justice Greenpeace menunjukkan bahwa 65 persen dari total emisi karbon sepanjang sejarah berasal dari hanya 90 perusahaan!
Di saat krisis iklim semakin parah, dunia sepakat bahwa untuk menghindari krisis yang lebih mengerikan, kita perlu transisi energi. Secara bertahap, kita harus meninggalkan bahan bakar fosil yang kotor dan beralih ke energi bersih yang terbarukan.
Berbagai kesepakatan dan komitmen global dan nasional telah dicanangkan. Namun, di tengah semua ini, pihak-pihak yang selama ini diuntungkan dari industri fosil belum mau move on. Mereka masih berpikir bagaimana mempertahankan bisnis dan keuntungan mereka, tanpa peduli terhadap iklim dan dampaknya pada masyarakat.
Salah satu cara mereka mempertahankan bisnis adalah dengan ekspansi besar-besaran industri plastik. Saat ini, industri plastik sudah menyerap sekitar 12 persen dari total permintaan bahan bakar fosil global.
Kondisi polusi dan emisi plastik saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Dan bukan saja tidak akan segera teratasi, bocoran dari sebuah penelitian Universitas Berkeley malah semakin memperburuk keadaan. Menurut penelitian tersebut, industri fosil perusak iklim ini menargetkan produksi plastik akan meningkat hingga tiga kali lipat pada tahun 2050! Triliunan dolar Amerika sudah dianggarkan untuk memperlancar ekspansi ini.
Bayangkan jika target itu tercapai, emisi dari sektor plastik akan berlipat ganda dan semakin memperparah krisis iklim.
Ini sangat mengkhawatirkan, tetapi bukan berarti kita tanpa harapan. Kekuatan kita sendiri, dan kita semua jika bersatu padu, masih bisa menghalau rencana berbahaya industri fosil ini.
Solusi untuk mengatasi masalah polusi plastik masih ada, baik di tingkat pribadi maupun komunal. Di tingkat pribadi, kita bisa mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Kemudian bersama-sama, kita bisa mendesak regulasi serta praktik bisnis dan industri yang lebih bertanggung jawab.
Gerakan kita bisa mendesak pemerintah-pemerintah dunia, termasuk Indonesia, untuk menerapkan regulasi yang efektif dalam menanggulangi masalah polusi plastik, serta mendorong industri untuk mengurangi produksi plastik dan beralih ke operasi yang lebih ramah lingkungan.
Saat ini, sudah banyak gerakan dan organisasi yang berkampanye untuk menangani masalah polusi plastik. Pilihlah dan bergabunglah dengan yang paling cocok dengan Anda.
Di tingkat global, beberapa negara di seluruh dunia sudah sepakat untuk mengakhiri polusi plastik. Negara-negara tersebut mengikrarkan “Global Plastic Treaty” pada konferensi iklim dunia Maret 2022 lalu, dengan cita-cita untuk mencapai transformasi sistem plastik global dan mengatasi masalah polusi plastik pada tahun 2040.
Sebanyak 174 negara sudah bergabung dalam kesepakatan ini. Namun, situasi nyata masih jauh dari ideal. Hingga tahun ini, pihak-pihak yang meraup untung dari energi kotor masih terus berusaha ‘membajak’ kesepakatan ini, sehingga akhirnya menjadi tidak berarti dalam mengurangi polusi plastik.
Sebagai contoh, pada konferensi sesi keempat Global Plastic Treaty yang berlangsung di Kanada, April 2024 lalu, industri fosil mengirimkan banyak pelobi, berupaya untuk melemahkan kesepakatan. Bahkan seorang teman yang hadir langsung di konferensi Kanada waktu itu mengatakan kepada saya bahwa jumlah pelobi lebih banyak dibandingkan dengan pihak yang benar-benar ingin menghentikan polusi plastik. Tidak kurang dari 196 perusahaan mengirimkan pelobi-pelobi mereka!
Namun, sekali lagi, jangan patah semangat. Masih ada kesempatan bagi kita untuk memastikan kesepakatan yang kuat dihasilkan oleh Global Plastic Treaty. Pertemuan berikutnya akan berlangsung di Busan, Korea Selatan, pada November nanti.
Bergabunglah di sini untuk memastikan Global Plastic Treaty menghasilkan kesepakatan yang kuat: https://netziro.org/
Hikmat Soeriatanuwijaya
Asia Partnership and Outreach Officer, Oil Change International, dan Co-founder Arise! Indonesia
English Version
Plastic and the Climate Crisis: What’s the Connection?
Most people are aware of the dangers of plastic pollution, which contaminates our land and oceans, causing numerous health and environmental problems. But did you know that plastic also exacerbates the climate crisis, contributing to floods, droughts, extreme weather, and more?
Yes, besides polluting the environment, the entire lifecycle of plastic production—from extraction to disposal—generates significant carbon emissions. This is because 99% of plastic raw materials come from fossil fuels!
Don’t believe it? Let’s break down the journey of plastic from the beginning.
The first step in plastic production is the extraction of raw materials, primarily crude oil and natural gas. Next comes the refining process, where these raw materials are heated and separated into their components. The following step is polymerization, and finally, compounding, which produces plastic pellets.
These steps require a tremendous amount of energy, and currently, most of that energy comes from coal. If we were to add up the emissions from the global plastic industry, the numbers are alarming!
According to data from the Center for International Environmental Law (CIEL), the plastic industry emits 850 million tons of carbon annually. To put that in perspective, it’s equivalent to the emissions from 189 coal-fired power plants with a capacity of 500 MW each.
Data from the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) shows that plastic contributes around 3.4% of global carbon emissions. Even more worrying, the Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) estimates that with the planned massive expansion of plastic production in the near future, this contribution could rise to 15%.
Yes, the current situation is critical, but unfortunately, if we don’t take action, the future looks even bleaker.
The fossil fuel industry is responsible for this. Even with the climate crisis looming, they continue to prioritise profit over the well-being of people and the environment.
Indonesia and other island nations will be among those that suffer the most from the climate crisis, despite being some of the least responsible for causing it.
The primary culprits for the current climate conditions are fossil fuel companies. Throughout history, they have reaped enormous profits while the rest of us bear the consequences.
Greenpeace’s Climate Justice campaign reveals that 65% of total carbon emissions throughout history come from just 90 companies!
As the climate crisis worsens, the world agrees that to avoid an even greater disaster, we need an energy transition. Gradually, we must move away from dirty fossil fuels and shift to clean, renewable energy.
Various global and national agreements and commitments have been made. However, in the midst of all this, those who have long benefited from the fossil fuel industry are unwilling to move on. They are still figuring out how to sustain their businesses and profits, without concern for the climate or its impact on people.
One way they are maintaining their business is through the massive expansion of the plastic industry. Currently, the plastic industry consumes about 12% of the total global demand for fossil fuels.
The current levels of plastic pollution and emissions are already deeply concerning. And not only will it not be resolved soon, but a study from the University of Berkeley also paints an even bleaker picture. According to the study, this climate-damaging fossil industry aims to triple plastic production by 2050! Trillions of U.S. dollars have been earmarked to facilitate this expansion.
Imagine if that target is met—emissions from the plastic sector will double, further exacerbating the climate crisis.
This is alarming, but it doesn’t mean we’re without hope. Our collective strength, especially if we unite, can still thwart the dangerous plans of the fossil industry.
There are solutions to address plastic pollution, both at the individual and communal levels. Individually, we can reduce the use of single-use plastics.
Together, we can advocate for responsible regulations, business practices, and industry operations.
Our movement can push governments worldwide, including Indonesia, to enforce effective regulations to combat plastic pollution and encourage industries to reduce plastic production and transition to more environmentally friendly operations.
Currently, many movements and organizations are campaigning to address the plastic pollution problem. Choose one that resonates with you and get involved.
On a global level, several countries have agreed to end plastic pollution. These nations pledged to the “Global Plastic Treaty” at the world climate conference in March 2022, aiming to achieve a global plastic system transformation and address plastic pollution by 2040.
A total of 174 countries have joined this agreement. However, the situation on the ground is far from ideal. As of this year, those profiting from dirty energy continue to try to ‘hijack’ this agreement, rendering it ineffective in reducing plastic pollution.
For example, at the fourth session of the Global Plastic Treaty conference in Canada in April 2024, the fossil fuel industry sent numerous lobbyists in an attempt to weaken the agreement. A friend who attended the conference in Canada told me that there were more lobbyists than those genuinely committed to ending plastic pollution. No fewer than 196 companies sent their lobbyists!
However, don’t lose hope. There is still a chance for us to ensure that a strong agreement is reached through the Global Plastic Treaty. The next meeting will be in Busan, South Korea, this November.
Join us here to ensure the Global Plastic Treaty results in a strong agreement: https://netziro.org/
Hikmat Soeriatanuwijaya
Asia Partnership and Outreach Officer, Oil Change International, and Co-founder, Arise! Indonesia